Mampukah Satu Orang Merubah Dunia?
Salah satu survei kecil-kecilan yang dilakukan oleh Stephen J. Dubner – penulis buku Freakonomics – menyatakan bahwa sebagian besar pembaca blog Freakonomics di New York Times memfavoritkan Obama dibandingkan McCain. Tidak tanggung-tanggung, 3 berbanding 1. Masalahnya, Steven D. Levitt – rekan Dubner, penulis buku Freakonomics juga – ketika melihat hasil survei kecil-kecilan itu mengungkapkan pendapat yang berbeda. Rupanya, dia melihat dari sisi yang lain. Dan dari sisinya, dia menyatakan bahwa sebanyak 2 dari 9 pemilih McCain adalah orang yang curang dan hanya 3 dari 31 pemilih Obama yang curang. Kesimpulan ini, membuat saya tersenyum. Menarik!
Lalu, apa hubungan semua hal di atas dengan Indonesia?

Untuk menjawab hal itu, saya mulai dengan mengajukan pertanyaan ”Siapa para pemegang keputusan negeri ini?” kepada 5 orang yang berbeda di sebuah angkringan. Dengan tidak serentak, semuanya menjawab dengan jawaban yang sama: Pemerintah. Hasil ini, meski hanya potret sekilas, saya rasa juga mewakili pikiran dari banyak penduduk negeri ini. Tapi, sadarkah Anda bahwa SAYA adalah salah satu pemegang keputusan di negeri ini?
Indonesia adalah SAYA!
Indonesia itu bukan hanya nama sebuah republik yang terbentang dari Sabang sampai Merauke, bendera Merah Putih, dan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Ada tanah, air dan udara di dalamnya. Ada budaya, dan ada juga sejarah yang membentuk Indonesia seperti sekarang ini. Sejarah yang (mungkin) penuh dengan kontroversi, dan terkadang disertai dengan menetesnya darah dan pertaruhan nyawa.
Indonesia pun adalah SAYA, salah satu pemegang keputusan negeri ini. SAYA pula yang akan menentukan kemana negeri ini akan dibawa. SAYA pula yang menentukan bagaimana wajah Indonesia di mata dunia.
Tidak percaya? Berikut ini adalah salah satu contohnya.
Ketika bom Bali pertama meledak beberapa tahun yang lalu, sebagian warga di tempat saya tinggal mengalami kepanikan yang luar biasa. Maklum, sebagian dari mereka adalah orang asing yang tinggal dengan “istrinya”. Sebagian besar orang asing ini adalah orang tua dan hampir semuanya adalah pensiunan yang bisa hidup mewah di Jogja – tapi tidak bisa mewah di negaranya sendiri. Para orang tua ini panik, takut hal yang sama akan terjadi di Jogja. Bahkan, salah seorang tetangga malah berinisitaif main ke kantor polisi terdekat. Setiap hari. Dan itu Hanya untuk sekedar menanyakan informasi. Harap maklum juga, sumber informasi saat itu kebanyakan dari televisi dan surat kabar versi Indonesia. Mereka susah untuk mendapatkan sumber informasi lain dari luar Indonesia.
Melihat kondisi di atas, saya pun sebenarnya memiliki ketakutan yang sama. Untungnya, koneksi internet memungkinkan saya untuk mencari informasi. Dan informasi ini pula yang bisa menentramkan hati saya saat itu. Jika hati saya bisa tentram hanya karena sebuah informasi, maka kemungkinan yang sama pun akan berlaku kepada tetangga yang ada di sekitar saya. Itu pikiran saya saat itu. Saya pun mencetak informasi dari media luar negeri dan dalam negeri yang saya punya dan membagikannya kepada mereka. Setiap pagi (atau jam berapa pun saya terbangun dari tidur), setiap hari.. selama mereka membutuhkan. Apa yang saya lakukan ini efektif. Kepanikan mereka berkurang, sampai pada akhirnya mereka pun bisa tertawa lagi dan menjalani hari seperti biasanya.
Hasil lain dari apa yang saya lakukan di atas adalah berubahnya pandangan para orang tua ini tentang Indonesia. Ini tidak mudah. Kenapa? Budaya, pola pemikiran dan gaya hidup sosial yang berbeda dari sononya. Belum lagi di tambah informasi tidak seimbang dari tempat dimana mereka dulu ini tinggal. Lebih banyak informasi tentang kejelekan Indonesia dibandingkan dengan kebaikannya. Plus, tingkah laku beberapa oknum di sekitar kami yang semakin memperburuk keadaan. Kondisi ini berkurang drastis – setidaknya di lingkungan dimana saya tinggal saat itu – ketika kami mulai memberikan beberapa informasi positif sebagai penangkal. Alhasil, mereka pun memutuskan untuk tetap tinggal di Indonesia meski anak-anak mereka pada merengek minta orang tuanya pulang ke negerinya masing-masing. Bagusnya lagi, beberapa tawaran WAH (work at home) dan SAH (stay at home) – istilah Isnaeni – pun bermunculan. Salah satu hasil nyata yang ada yaitu ”lakunya” desain sistem informasi hasil putra negeri ini ke pihak luar dengan ”perantara” para pensiunan ini.
Ya, Indonesia adalah SAYA. Dan saya, saat itu, ikut menentukan wajah Indonesia.
SAYA dan Masa Depan Indonesia
”Berapa lama waktu yang dibutuhkan oleh Indonesia agar bisa bangkit lagi seperti dulu?”, tanya seorang rekan kerja saya dari Jerman.
”Satu generasi..”, jawab saya singkat.
Mendengar jawaban saya, dia kembali bertanya, ”Kenapa harus satu generasi? Bukankah itu terlalu lama?”.
”Sosial, kultur dan pendidikan..”, jawab saya sambil meneguk kopi.
”Secara sosial, masyarakat Indonesia termasuk masyarakat yang belum lah siap dengan perubahan mendadak. Apalagi jika berhubungan dengan masalah perut. Kultur pun juga seperti itu, baik masyarakat maupun birokrasi. Anda membutuhkan hasil instan? Saya rasa tidak mungkin. Apa yang Anda lakukan beberapa tahun ini, paling tidak menjadi bukti dari apa yang saya katakan tadi.”, lanjut saya.
”Hmm.. ”
”Dan untuk pendidikan.. ini tidak mudah. Generasi yang hidup setelah era reformasi akan tumbuh dan berkembang dalam kondisi yang berbeda, tidak seperti generasi sebelumnya. Dan untuk ini, dibutuhkan pendidikan yang ”lebih” agar mereka pun dapat menjadi lebih baik dibanding generasi pendahulunya dan tidak menjadi generasi instan semata. Belum lagi nanti jika teknologi, seperti internet misalnya.. sudah menjadi bagian sehari-hari dari generasi ini”
”Saya rasa kamu benar.. dan pada akhirnya, pendidikan akan menjadi kata kunci di jaman ekonomi yang bergerak cepat ini. Tapi, bisa jadi dibutuhkan waktu yang lebih jika kondisinya menjadi lebih buruk. Ingat, selalu ada tarik menarik kepentingan untuk kekuasaan di era reformasi ini”, ujar rekan saya.
Diskusi di atas terjadi 8 (delapan) tahun yang lalu. Saat ini, pertanyaan saya, masih aktual kah jika pertanyaan rekan saya di atas itu diajukan kembali? Berapa lama waktu yang dibutuhkan oleh Indonesia agar bisa bangkit lagi? Apa yang bisa SAYA lakukan agar Indonesia bisa menjadi lebih baik?
Mendambakan Indonesia yang Berbeda
Mentalitas dan karakteristik suatu bangsa terlihat dari generasi mudanya. Dan salah satu faktor penentu mentalitas dan karateristik ini adalah proses bagaimana generasi muda ini tumbuh dan berkembang.
Maaf, saya tidak termasuk orang yang suka dengan sesuatu yang bersifat instan. Saya lebih percaya terhadap proses. Jikalau proses itu bisa memerikan hasil yang cepat, alhamdulillah. Jika tidak, maka akan sangat baik jadinya jika kita ikut lalui saja proses itu, memberikan yang terbaik dan berusaha semaksimal mungkin. Bagaimana caranya?
Berdasarkan informasi yang saya kumpulkan, untuk bulan Juli 2008 kemarin telah dilaksanakan 11 Pilkada (Kab. Padang Panjang, Kota Pariaman, Kab. Merangin, Kab. Banyuasin, Kab. Empat Lawang, Kab. Lumajang, Kab. Bondowoso, Kab. Jombang, Kota Malang, Kab. Lombok Timur dan Kab. Minahasa) dan 3 Pilgub (Jatim, Bali, NTB). Untuk masing-masing Pilkada dan Pilgub yang dilaksanakan, selalu ada beberapa kandidat. Masing-masing kandidat memiliki program andalan mereka. Dari sekian banyak program yang mereka tawarkan, apa yang menjadi program yang paling populer? Wordle membantu saya merangkumnya seperti tampak dibawah ini.

Hasil di atas menunjukkan bahwa pendidikan merupakan bidang yang menyerap perhatian lebih dari para kandidat pemimpin daerah yang sedang bertarung. Terlepas apakah pendidikan merupakan komoditi kampanye yang populer untuk dijual atau tidak, marilah kembali ke diskusi saya delapan tahun yang lalu dan membandingkannya dengan apa yang terlihat pada gambar diatas. Ada benang merah?Ada, dan menurut saya benar merah terbesar ada di pedidikan.
Lalu, bagaimana kita pendidikan berperan serta merubah mentalitas dan karateristik generasi muda? Bukankah negeri ini sudah cukup carut marut secara sosial dan budaya?
Saya rasa semua orang pun akan mengamini jika saya bilang pendidikan itu tidak hanya di sekolah semata. Dan karena itu, saya pun percaya bahwa pendidikan bisa memberikan efek berantai. Seperti reaksi nuklir, satu tembakan netron bisa menghasilkan energi yang besar dari reaksi yang dihasilkannya. Masalahnya, kata ”pendidikan” saat ini sudah terlanjur punya embel-embel mahal, buruk dan itu adalah tanggung jawab para pemegang keputusan. Celakanya lagi, para pemegang keputusan ini pun, sekali lagi, sudah identik dengan pemerintah.
“…mata manusia selalu melihat keluar – tak satupun yang sanggup melihat ke dalam dirinya sendiri.” – Yanusa Nugroho, dalam Boma (hal. 1)
Saya tidak mengingkari kenyataan. Fakta memang berbicara seperti itu. Masih banyak sekolah yang rusak, masih banyak pula anak-anak yang belum bisa mendapatkan pendidikan yang layak. Pengalaman pribadi pun mengatakan hal yang sama. Percaya atau tidak, dulu, dikala teman-teman yang lain berangkat sekolah, saya malah naik bis ke Surabaya dan membolos dari sekolah. Di sana, saya berjualan majalah bekas, di atas bis kota, untuk mencari uang sebagai tambahan biaya sekolah. Siang hari, di kala teman-teman yang lain pulang sekolah, saya pun pulang ke Lamongan agar tidak ketahuan orang tua saya bahwa saya telah membolos. Maklum, tanpa mengurangi rasa hormat saya, beliau berdua termasuk yang percaya bahwa pendidikan adalah tanggung jawab orang tua. Sayangnya, kondisi ekonomi kami saat itu tidak begitu baik. Dan ini berlanjut sampai saya kuliah.
Ya, meski kadang di cap bandel karena sering membolos, saya memiliki kepercayaan dan mimpi yang tinggi (untuk ukuran anak dari kota kecil seperti Lamongan). Namun, saya percaya, jika kita mau mencari maka selalu ada jalan untuk masalah yang ada. Dan yang saya butuhkan adalah kreativitas mencari jalan itu. “Yang namanya kreatif adalah bagaimana kita tetap bisa menghasilkan kreativitas optimal dengan batas-batas yang ada,” begitu kata Hanung Bramantyo di sini.
Singkat cerita, apa yang sudah saya jalani – dengan pendidikan di dalam dan luar sekolah – itu telah mengubah mental, pandangan sosial, pola pikir dan kreativitas yang saya miliki. Virus perubahan dalam pola pikir tentang pendidikan ini pun saya tularkan ke lingkungan yang berinteraksi di sekitar saya. Efeknya apa? Mereka yang tertular dengan virus ini pun, diakui atau tidak, sedikit banyak mengalami perubahan. Alhasil, mental dan karakteristik mereka pun ikut berubah. Dan perubahan ini, akhirnya membawa saya untuk kembali bermimpi bahwa Indonesia itu Punya Otak Kok!
Mimpi saya itu, hampir sama seperti Nukman Luthfie yang bermimpi untuk membuktikan bahwa orang Indonesia bisa ekspansi bisnis di seluruh dunia. Sama dengan mimpi Arief Budiman yang ingin membawa Petakumpet menjadi The Most Admired Company in The World dan dimuat jadi sampul depan majalah Fortune. Sama pula dengan mimpi Badroni Yuzirman, founder Tangan Di Atas, yang ingin mewujudkan10.000 pengusaha milyader di Indonesia. Saya rasa, ”Indonesia adalah SAYA!” pun ada di benak hati mereka.
Ya, SAYA bukan hanya saya, Nukman Lutfie, Arief Budiman atau Badroni Yuzirman saja. SAYA adalah masing-masing dari KITA SEMUA, baik itu Pemerintah, mahasiswa, pelajar, wirausaha, karyawan, ataupun yang lainnya. Jadi, janganlah seperti sebagian dari pemilih McCain di atas. Marilah SAYA – masing-masing dari KITA SEMUA – ini bijaksana pada diri sendiri, dan jujur mengakui bahwa kita adalah para pemegang kekuasaan negeri ini. Konsekuensinya, tanggung jawab yang dimiliki pun juga sama – apapun label dan posisi yang melekat pada diri kita masing-masing. Aksi kecil, sekecil apapun itu, bisa menghasilkan Indonesia yang lebih baik jika kita sendiri mempercayainya. Kenyataan sosial pun tidak akan berubah jika kita sendiri tidak merubahnya. Pun, budaya kita yang agung ini semakin lama akan semakin hilang jika kita hanya berdiam diri. Seperti salah satu iklan di televisi… Less Talk, More Action!
*tribute buat Pelangi Ardhanareswari, gadis kecil yang sudah mencoba memenuhi mimpi yang tertunda…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar