Senin, 22 November 2010

khalifah

Islam memandang manusia sebagai khalifatullah, yakni khalifah Allah. Itulah hakikat manusia. Namun apakah dalam kenyataannya setiap manusia itu khalifatullah ? Bukankah di antara mereka ada yang kafir ?
Lalu apa yang dimaksud dengan manusia sebagai khalifatullah ? Atau bagaimana manusia menjadi khalifatullah ?Sebelum pertanyaan-pertanyaan di atas dapat dijawab, maka terlebih dahulu harus dipahami arti khalifah itu sendiri.
Khalifah atau khilafah, berasal dari akar kata khalaf yang berarti di belakang punggung, meninggalkan sesuatu di belakang atau sesuatu yang menempati tempat sesuatu yang lain. Al-Qur’an menyebut kata khalifah atau khilafah dengan berbagai turunannya. Selain itu, Al-Qur’an menggunakan kata khalifah untuk manusia dan untuk selain manusia.
Misalnya, ayat yang berbunyi, “Dialah yang menciptakan malam dan siang silih berganti (malam menempati siang dan siang menempati malam), bagi mereka yang mau berpikir atau bersyukur.” (QS. Al-Furqan : 62)
Ketika kata khalifah digunakan untuk manusia, kata ini mempunyai arti yang netral. Maksudnya bisa untuk kebaikan dan bisa pula untuk keburukan.
Lalu datanglah setelah mereka generasi (pengganti), yang melalaikan shalat dan mengikuti hawa napsu. Mereka kelak niscaya akan mendapatkan kesesatan.”(QS. Maryam : 59).
Atau firman-Nya yang berbunyi, “Maka datanglah setelah mereka generasi (pengganti), yang mewarisi kitab.” (QS. Al-Araf : 169).
Tetapi ketika kata khalifah disandarkan (di-idhafah-kan) kepada Allah atau Rasulullah, maka kata itu mengandung arti yang positif. Maksudnya jika yang diganti (al-mustakhlif) baik, maka yang menggantikannya (khalifah, mustakhlaf) harus baik juga. Andaikata tidak, maka akan merusak reputasi mustakhlif.
Manusia adalah khalifah dari Allah dan Allah adalah puncak segala kebaikan dan kesempurnaan. Dengan demikian manusia adalah titisan dari kebaikan dan kesempurnaan-Nya.
Jadi manusia berkedudukan sebagai wakil atau pengganti Allah di muka bumi. Yaitu manusia yang mempunyai kemampuan untuk mengatur dan mengubah alam. Manusia yang sedikit banyak mengetahui rahasia alam. Semua itu tidak berlaku bagi makhluk-makhluk lainnya. Akan tetapi bagaimana dengan kenyataan umat manusia zaman kini ? Sungguh ironis sekali bukan.
Syekh Taqi Mishbah berpendapat, bahwa kedudukan khalifah tidak terbatas pada Adam saja, melainkan manusia lain pun dapat menduduki jabatan khilafah dengan satu syarat, yaitu mengetahui. (lihat kitab Ma’arif Al-Qur’an, juz 3 hal 73).
Allamah Thabathaba’i dalam kitab Tafsir al-Mizan, jilid I halaman 116 berkata, “Khilafah tidak terbatas pada diri Adam as. saja, tetapi para keturunannya pun sama menduduki khilafah tanpa kecuali.”
Selanjutnya beliau menjelaskan, “Maksud mengajarkan asma, adalah menyimpan ilmu pada manusia yang senantiasa akan tampak secara bertahap. Jika manusia mendapatkan petunjuk, maka dia akan membuktikannya secara faktual (bil-fi’li) setelah sebelumnya berupa potensial (bil-quwwah).”
Maksud dari penjelasan Allamah Thabathaba’i di atas, bahwa manusia secara potensial adalah khalifah Allah. Namun yang mampu memfaktualkannya tidak semua manusia. Hanya sebagian kecil saja di antara mereka yang mampu. Hal itu kembali kepada ikhtiar dan pilihan manusia itu sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar