Keluarga dalam Islam adalah perintah agama yang berusaha untuk diwujudkan oleh setiap manusia beriman. Ia juga kesempurnaan akhlak manusia yang dicoba-raih oleh setiap pribadi. Pernikahan mengandung beberapa hikmah yang memesona dan sejumlah tujuan luhur.Seorang manusia—laki-laki maupun perempuan—pasti bisa merasakan cinta dan kasih sayang dan ingin mengenyam ketenangan jiwa dan kestabilan emosi. Allah S.W.T. berfirman,“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” Pun seseorang—laki-laki maupun perempuan—dalam naungan keluarga akan menikmati perasaan memiliki kehormatan diri dan kesucian dan mengenyam keluhuran budi pekerti. Rasulullah S.A.W. bersabda,“Wahai para pemuda, kalau ada di antara kalian yang sudah mampu menikah, segeralah menikah. Sebab, pernikahan bisa menahan penglihatan dan menjaga kemaluan. Tapi, kalau ada yang belum mampu, maka hendaknya ia berpuasa. Sebab, puasa adalah peredam gejolak syahwat.” Di sini, ada dua catatan penting yang perlu kita garis bawahi: 1. Insting seksual bukanlah kekurangan yang harus dihilangkan dari diri manusia, namun ia adalah keniscayaan fitrah yang perlu diarahkan dengan jalan dipraktikkan dalam koridor manhaj Ilahi dan sebatas untuk mewujudkan ketenangan jiwa, serta menjauhkan masalah dan penyakit. Islam tidak mengenal pengebirian insting seksual. Islam juga bukan pendukung seks bebas. Masyarakat moderen di sekitar kita dewasa ini melepas-bebaskan syahwat mereka secara liar di mana nilai-nilai moral yang luhur, kehormatan diri, dan rasa malu tak lagi diperhatikan. Yang mengerti akan kesakralan nilai-nilai adiluhung tersebut hanyalah kaum Muslimin. 2. Wasiat Rasulullah S.A.W. bagi mereka yang tak mampu menanggung konsenkuensi pernikahan untuk berpuasa sepatutnya tidak diartikan sebagai upaya untuk mengalangi keberlangsungan hidup insting seksual. Sebab, hal itu sama sekali bukan maksud dan tujuan dari hadis Rasulullah S.A.W. di atas. Namun, hikmah luhur yang terkandung di dalamnya adalah bahwasanya puasa merupakan wadah seorang Muslim untuk belajar arti kesabaran, ketabahan, keinginan yang cerdas dan kesadaran beragama. Dengan demikian, kita bisa katakan, bahwa pernikahan mempunyai tujuan besar dan asasi sebagai sarana melanggengkan hikmah utama di dalamnya. Yakni, kelangsungan ras manusia dan membangun peradaban dunia. Allah S.W.T. berfirman,“Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu anak-anak dan cucu-cucu.” Oleh karena itu, seorang wanita sangat direkomendasikan untuk menjadi sosok yang wadûd dan walûd. Maksudnya, ia harus punya cinta, kasih sayang, dan kesetiaan, di samping potensi besar untuk melahirkan keturunan. Dengan kedua predikat tersebut, ia pun telah mengumpulkan dua kebaikan. Karena hikmah luhur inilah, pembentukan keluarga merupakan sunnah para nabi, doa para rasul, dan harapan kaum muttaqîn. Allah S.W.T. telah mengkaruniakan keluarga dan keturunan kepada para Nabi-Nya. Allah berfirman,“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka istri-istri dan keturunan.” Anak menjadi warta gembira Ilahi untuk junjungan kita Ibrâhîm a.s. Allah berfirman,“Dan sesungguhnya utusan-utusan Kami (malaikat-malaikat) telah datang kepada Ibrahim dengan membawa kabar gembira.” Warta gembira itu dibentangkan setelah satu ayat berikutnya melaui firman-Nya,“Dan isterinya berdiri (di sampingnya) lalu dia tersenyum, maka Kami sampaikan kepadanya kabar gembira tentang (kelahiran) Ishak dan sesudah Ishak (lahir pula) Ya'qub.” Ishâq ini adalah sosok anak yang alim yang pewartaannya diperuntukkan bagi Sârah setelah sebelumnya Ibrâhîm menerima berita gembira tentang kelahiran puteranya yang berhati lembut, yaitu Ismâ’îl, yang terlahir dari Hâjar. Al-Qur’an telah merentangkan suri teladan melalui Zakariâ a.s. tatkala menunaikan shalat malam dan memanjatkan doa kepada Tuhannya,“Ya Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah ditumbuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdo'a kepada Engkau, ya Tuhanku. Dan sesungguhnya aku khawatir terhadap mawaliku sepeninggalanku, sedang isteriku adalah seorang yang mandul, maka anugerahilah aku dari Engkau seorang putera, yang akan mewarisi aku dan mewarisi sebahagian keluarga Ya'qub, dan jadikanlah ia, ya Tuhanku, seorang yang diridhai.” Allah mengabulkan permohonan Zakariâ. Datanglah warta gembira baginya,“Hai Zakariya, sesungguhnya Kami memberi kabar gembira kepadamu akan (beroleh) seorang anak yang namanya Yahya, yang sebelumnya Kami belum pernah menciptakan orang yang serupa dengan dia.” Al-Qur’an mengajari kita doa hamba-hamba Allah Yang Maha Penyayang yang merupakan barisan makluk-Nya terpilih, yang berbunyi,“Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” Bila doa ini kita cermati, tampak bahwa hamba-hamba Allah Yang Maha Penyayang tidak puas hanya dengan menjadi orang-orang yang bertakwa saja. Mereka juga memohon agar diri mereka dan keturunan mereka menjadi pemimpin orang-orang yang bertakwa. Inilah doa yang niscaya membuat diri kita berambisi tinggi meraih karunia Allah. Oleh karena itu, jika kita meminta, kita mesti meminta surga Firdaus tertinggi. Yang menakjubkan, jika ayat-ayat al-Qur’an dicermati akan ditemukan bahwa keluarga bersangkutpautan dengan pahala surga dan siksa neraka. Tentang para penghuni surga, Allah S.W.T. berfirman,“Dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka,” dan “(yaitu) surga ‘Adn yang mereka masuk kedalamnya bersama-sama dengan orang-orang yang saleh dari bapak-bapaknya, istri-istrinya dan anak cucunya, sedang malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu; (sambil mengucapkan): “Salamun ‘alaikum bima shabartum”.Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu.” Sedangkan menyangkut penghuni neraka, Allah S.W.T. berfirman,“(Kepada malaikat diperintahkan): ‘Kumpulkanlah orang-orang yang zalim bersama teman sejawat mereka dan sembahan-sembahan yang selalu mereka sembah selain Allah; maka tunjukkanlah kepada mereka jalan ke neraka’.” Ayat-ayat tersebut menandaskan pentingnya hubungan secara akidah dan akhlak antara keluarga dan anak-anaknya. Akan tetapi, jika kita ditanya tentang pengertian firman Allah S.W.T.,“Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu); dan di sisi Allah-lah pahala yang besar.”, akan kita jelaskan bahwa seluruh kehidupan ini harus diperuntukkan bagi Allah dan dijalani karena Allah. Kehidupan ini kita jalani bukan untuk menumpuk emas dan perak, bukan juga untuk membangga-banggakan kedudukan dan anak. Namun, kehidupan adalah kesempatan yang dibentangkan untuk membekali diri dengan bekal terbaik dan pesangon takwa. Islam menganjurkan kaum Muslimin untuk memiliki kekayaan bukan karena kekayaan itu, namun haruslah didasari atas keinginan untuk meraih ridha Ilahi. Al-Qur’an yang mulia sudah menjelaskan kepada kita patokan umum untuk mengarungi kehidupan dunia ini melalui kisah Qârûn ketika memperoleh nasihat dari kaum ulama di zamannya. Al-Qur’an menuturkan,“Sesungguhnya Qârûn adalah termasuk kaum Musa, maka ia berlaku aniaya terhadap mereka, dan Kami telah menganugerahkan kepadanya perbendaharaaan harta yang kunci-kuncinya sungguh berat dipikul oleh sejumlah orang yang kuat-kuat. (Ingatlah) ketika kaumnya berkata kepadanya: ‘Janganlah kamu terlalu bangga; sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang terlalu membanggakan diri. Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi.Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan’.” Atas dasar inilah kita memahami ayat tersebut. Harta dan anak-anak dipandang oleh al-Qur’an sebagai hiasan kehidupan dunia. Al-Qur’an membolehkan umat Islam untuk memiliki keduanya dan bekerja keras untuk meraih keduanya dalam batasan-batasan syara’ serta dengan usaha manusiawi yang tak semena-mena, tanpa harus melampaui batas, bermegah-megahan, ataupun menimbulkan kerusakan di muka bumi. Ketika jiwa manusia berpaling dari manhaj Ilahi, fitnah harta akan timbul dari penumpukannya yang melalui jalan tidak halal dan penggunaannya untuk hal-hal yang tidak diperkenankan agama. Fitnah anak-anak juga akan muncul dengan jauhnya mereka dari kebaikan, penyimpangan moral mereka, dan pelanggaran mereka terhadap keharaman-keharaman yang telah ditetapkan Allah. Namun, apabila anak-anak tumbuh dan terdidik di atas manhaj Islami dan mengetahui keutamaan lalu menapaki jalan-jalan kebaikan, maka anak-anak seperti itu merupakan kemuliaan dan kebanggaan bagi kedua orang tua. Rasulullah S.A.W. bersabda,“Jika anak cucu Adam meninggal dunia, maka seluruh amalnya akan terputus kecuali tiga perkara: sedekah yang pahalanya terus mengalir, atau ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang selalu mendoakannya.” (Akhlaqul Usrah Muslimah - DR. Muhammad Sayid Ahmad Al-Musayyar) |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar